ASUHAN KEPERAWATAN
HIPERBILIRUBINEMIA PADA ANAK
KONSEP DASAR HIPERBILLIRUBINEMIA
A.
DEFINISI
Hiperbilirubin adalah
meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal
(Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl,
bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar
billirubinemia mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan
kernikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo,1997).
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir)
adalah meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga
kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah,
2000).
B. KLASIFIKASI
1. Ikterus Fisiologis
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg%
pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg%
untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin
tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan
keadaan patologik.
2. Ikterus Patologik
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada
neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg%
perhari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses
hemolitik.
C. ETIOLOGI
Penyebab
dari hiperbilirubinemia antara lain :
1.
Penghancuran sel darah merah (hemolisis sel darah
merah). Misalnya: pada ketidak selarasan
golongan darah rhesus dan ABO (inkompatibilitas), definisi G6PD, sepsis.
2.
Metabolisme bilirubin yang terganggu. Misalnya:
premature, Cepalenhepar belum matang, hiperprotein/albumin.
3.
Ekskresi bilirubin yang terganggu
4.
Peningkatan produksi bilirubin dan sirkulasi
enterohepatik, penurunan ambilan bilirubin ke dalam hepar.
5.
Asal etnik, mereka yang berasal dari Korea, Cina, serta
Jepang dan Indian Amerika memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi.
6.
Bayi dari ibu diabetes (IDM).
7.
Peningkatan destruksi SDM
a.
Isoimunisasi (Kehamilan dan Pelahiran Risiko Tinggi, inkompatibilitas
ABO atau RH): periksalah golongan darah dan RH bayi, Coombs, hitung darah
lengkap, serta hitung retikulosit untuk menentukan adanya penyakit hemilitik.
b.
Defek metabolisme SDM: Defek enzim SDM menganggu fungsi
eritrosit dan memperpendek rentang hidup SDM (misal : definisi G6PD, defisiensi
piruvat kinase, defisiensi heksokinase, serta porfiria eritropoietik
kongenital).
c.
Abnormalitas struktur SDM : eritrosit berbentuk
abnormal tak dapat bersirkulasi dengan baik dan dianggap asing oleh limpa yang
mengakibatkan peningkatan destruksi (misal : sferositosis infantil).
d.
Hemoglobinopati : sekelompok penyakit yang mengenai
eritrosit akibat adanya satu atau lebih molekul hemoglobin yang berbentuk
abnormal (misal anemia sel sabit dan talasemia).
8.
Infeksi
9.
Sekuestrasi, hiperbilirubinemia terjadi ketika tubuh
memetabolis kumpulan darah yang banyak. Etiologinya meliputi trauma kelahiran
(miasl memar, sefalohematoma, dan hematomasubdural atau subgaleal) serta
hemangioma besar (misal sindrom Kasabach-Merritt).
10. Polisitemia
sekunder akibat dari diabetes militus, ‘pemerahan’ tali pusat, transfusi
maternal-fetal, dan hipoksia janin.
11. Gangguan
konjungasi bilirubin
a.
Hipotiroidisme
b.
Crigler-Najjar tipe I dan II yaitu, gangguan yang
disebabkan oleh defek strukur atau inaktiviitas enzim UDPGT.
c.
Sindrom Gilbert yaitu defek ambilan bilirubin hepar dan
penurunan fungsi UDPGT.
d.
Sindrom Lucey-Driscoll yaitu gangguan yang disebabkan
oleh inhibitor glukoronil tranferase yang tak teridentifikasi mengakibatkan
hiperbilirubinemia tak terkonjungasi nonhemolitik berat.
12. Gangguan
resirkulasi dan ekskersi
a.
Obstruksi usus, kelambatan penyaluran feses,
struuktural (stenosis atau atresia) atau mekanis (sumbatan ileus atau
mekonium), stenosis pilorus, penyakit Hirschprung dan fibrosis kistik.
b.
Ikterus ASI terjadi setelah hari kelima kehidupan dan
memuncak pada 3 minggu kehidupan. Diperkirakan sebagai akibat peningkatan
sirkulasi enterohepatik bilirubin tak terkonjungasi sekunder akibat faktor
dalam ASI yang belum diketahui.
D.
PATOFISIOLOGI
1.
Pigmen kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk
dari pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksidase, biliverdin reduktase dan
agen pereduksi nonenzimatik dalam sistem retikuloendotelial.
2.
Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak
terkonjugasi diambil oleh protein intraseluler “Y protein” dalam hati.
Pengambilan tergantung pada alairan darah hepatik dan adanya ikatan protein.
3.
Bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam hati dirubah
(terkonjugasi) oleh enzim asam uridin disfosfoglukuronat (UDPGA; Uridin
Diphospgoglucuronic Acid). Glukuronil transferase menjadi bilirubin mono dan
diglukuronida yang polar larut dalam air (bereaksi direk)
4.
Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat
dieliminasi melalui ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu
melalui membran kanalikular.
5.
Akhirnya dapat masuk ke sistem gastrointestinal dengan
diaktifkan oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa
bilirubin diabsorbsi kembali menjadi sirkulasi enteroheptik
6.
Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen
bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi, non-polar (bereaksi indirek)
7.
Pada bayi hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan
hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukuronil transferase. Rendahnya
pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan
dengan penurunan aliran darah hepatik
8.
Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan
hasil dari hambatan kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam
lemak bebas yang terdapat dalam ASI. Terjadi 4 sampai 7 hari setelah lahir.
Dimana terdapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25 sampai 30
mg/dl selama minggu ke-2 sampai minggu ke-3. Biasanya dapat mencapai usia 4
minggu dan menurun 10 minggu.
9.
Jika pemberian ASI dilanjutkan, hiperbilirubinemia akan
menurun berangsur-angsur dan dapat menetap selama 3 sampai 10 minggu pada kadar
yang lebih rendah.
10. Jika
pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan cepat.,
biasanya mencapai normal dalam beberapa hari.
11. Penghentian
ASI selama 1 sampai 2 hari dan penggantian ASI dengan formula menfakibatkan
penurunan bilirubin serum dengan cepat, sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai
lagi dan hiperbilirubin tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumnya.
12. Bilirubin
yang patologis tampak ada kenaikan bilirubin dalan 24 jam pertama kelahiran.
Sedangkan untuk bayi dengan ikterus fisiologis, muncul antara 3 sampai 5 hari
sesudah lahir.
(Suriadi,
2001).
E.
MANIFESTASI
KLINIS
Adapun
tanda dan gejala neonatus dengan hiperbilirubinemia adalah sebagai berikut :
1.
Kulit jaundice (kekuningan).
2.
Sklera ikterik.
3.
Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10mg% pada
neonatus yang cukup bulan dan 12,5mg% pada neonatus yang kurang bula.
4.
Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang
disebabkan oleh rendahnya intake kalori.
5.
Asfiksia.
6.
Hipoksia.
7.
Sindrom gangguan pernafasan.
8.
Pemeriksaan
abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit.
9.
Peses berwarna seperti dempul dan pemerikasaan
neurologist dapat ditemukan adanya kejang.
10. Epistotonus
(posisi tubuh bayi melengkung).
11. Terjadi
pembesaran hati.
12. Tidak
mau minum ASI.
13. Letargi.
14. Refleks
Moro lemah atau tidak ada sama sekali.
(AH Markum, 2002).
F. KOMPLIKASI
Keadaan bilirubin yang
tidak teratasi akan menyebabkan memperburuk keadaan, dan menyebabkan
komplikasi;
1.
Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
2.
Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy,
retardasi mental, hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan
tangisan yang melengking.
(Suriadi,
2001).
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
(Pemeriksan Darah)
a.
Pemeriksaan
bilirubin serum
Pada bayi cukup bilirubin mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl, antara 2 dan 4
hari kehidupan. Apabila nilainya di atas 10 mg/dl, tidak fisiologis. Pada bayi
dengan prematur kadar bilirubin mencapai puncaknya 10-12 mg/dl, antara 5 dan 7
hari kehidupan. Kadar bilirubin yang yang lebih dari 14 mg/dl adalah tidak
fisiologis.
b.
Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c.
Protein serum total.
2.
Ultrasound
untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3.
Radioisotope
scan dapat digunakan untuk membantu memebedakan hepatitis dari atresia biliary.
(Suriadi, 2001).
H. PENATALAKSANAAN
1. Pengawasan
antenatal dengan baik dan pemberian
makanan sejak dini (pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan
ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa furokolin.
3.
Pencegahan
dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4.
Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat
meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu.
Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
5.
Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6.
Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis
dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine
dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
7.
Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto
terapi.
(Suriadi,
2001).
ASUHAN
KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Dalam melakukan pengkajian pada anak dengan gangguan
hiperbilirubin adalah dilakukan sebagai berikut;
1.
Pemeriksaan umum
a.
Aktivitas/istirahat : letargi, malas
b.
Sirkulasi : mungkin pucat, menandakan anemia
c.
Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium
mungkin lambat, feces mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran
billirubin. Urine berwarna gelap.
d.
Makanan cairan : Riwayat pelambatan (makanan oral
buruk).
e.
Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa,
hepar.
f.
Neurosensori;
1).
Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada
satu atau kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
2).
Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis,
mungkin ada dengan inkompathabilitas Rh.
3).
Kehilanga refleks moro, mungkin terlihat.
4).
Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung,
menangis lirih, aktifitas kejang.
g.
Pernafasan : krekels (oedema pleura), bercak merah
muda.
h.
Keamanan : Riwayat positif infeksi atau sepsis
neonatus, akimosis berlebihan, pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak
ikterik pada awalnya pada wajah dan
berlanjut pada bagian distal tubuh.
i.
Seksualitas : mungkin praterm, bayi kecil usia untuk
gestasi (SGA), bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi
besar untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih
sering pada bayi pria daripada bayi wanita.
2. Pemeriksaan
fokus
a.
Pemeriksaan fisik, Inspeksi; warna sklera, konjungtiva,
membran mukosa mulut, kulit, urine dan tinja.
b.
Pemeriksaan bilirubin menunjukkan adanya peningkatan
c.
Tanyakan berapa lama jaundice muncul dan sejak kapan
d.
apakah bayi ada demam
e.
Bagaimana kebutuhan pola minum
f.
Tanyakan tentang riwayat keluarga
g.
Apakah anak sudah mendapat imunisasi hepatitis B
(Suriadi,
2001).
B. DIAGNOSA
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
peningkatan kadar bilirubin indirek dalam darah, ikterus pada sclera leher dan
badan.
2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan akibat
efek samping fototerapi berhubungan
dengan pemaparan sinar dengan intensitas tinggi.
3. Risiko terjadi gangguan suhu tubuh akibat efek samping
fototerapi berhubungan dengan efek
mekanisme regulasi tubuh.
4. Risiko tinggi cedera akibat komplikasi tindakan
transfusi tukar berhubungan dengan prosedur
invasif, profil darah abnormal.
5. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi,
prognosis dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi
C.
TINDAKAN KEPERAWATAN
1.
Dx. 1
a. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan
integritas kulit kembali baik/ normal.
b. Kriteria Hasil
1) Kadar bilirubin dalam batas normal ( 0,2 – 1,0
mg/dl )
2) Kulit tidak berwarna kuning/ warna kuning mulai
berkurang
3) Tidak timbul lecet akibat penekanan kulit yang terlalu
lama
c.
Intervensi
1) Monitor warna dan keadaan kulit setiap 4-8 jam
R : Warna kulit
kekuningan sampai jingga yang semakin pekat menandakan konsentrasi
bilirubin indirek dalam darah tinggi
2) Monitor keadaan bilirubin direk dan indirek (
kolaborasi dengan dokter dan analis )
R : Kadar bilirubin indirek
merupakan indikator berat ringan
joundice yang diderita.
3) Ubah posisi miring atau tengkurap. Perubahan
posisi setiap 2 jam berbarengan dengan perubahan posisi lakukan massage dan
monitor keadaan kulit
R : Menghindari adanya
penekanan pada kulit yang terlalu lama sehingga mencegah terjadinya dekubitus
atau irtasi pada kuit bayi.
4) Jaga kebersihan kulit dan kelembaban kulit/
Memandikan dan pemijatan bayi
R : Kulit yang bersih dan
lembab membantu memberi rasa nyaman dan menghindari kulit bayi meengelupas atau
bersisik.
2. Dx. 2
a.
Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan cairan
tubuh neonatus adekuat.
b.
Kriteria Hasil
1) Tugor kulit baik
2)
Membran
mukosa lembab
3)
Intake dan
output cairan seimbang
4)
Nadi,
respirasi dalam batas normal ( N: 120-160 x/menit, RR : 35 x/menit )
suhu ( 36,5-37,5 C )
suhu ( 36,5-37,5 C )
c.
Intervensi
1) Pantau masukan dan
haluan cairan, timbang berat badan bayi 2 kali sehari.
R : Bayi dapat tidur lebih lama dalam hubungannya
dengan fototerapi, meningkatkan resiko dehidrasi bila jadwal pemberian makan
yang sering tidak di pertahankan.
2)
Perhatikan tanda- tanda dehidrasi (mis: penurunan haluaran
urine, fontanel tertekan, kulit hangat atau kering dengan turgor buruk, dan
mata cekung).
R : Peningkatan kehilangan air melalui feses dan evaporasi
dapt menyebabkan dehidrasi.
3)
Perhatikan warna dan frekuensi defekasi dan urine.
R : Defeksi encer, sering dan kehijauan serta urine
kehijauan menandakan keefektifan fototerapi dengan pemecahan dan ekskresi
bilirubin. Feces yang encer meningkatkatkan risiko kekurangan volume cairan akibat
pengeluaran cairan berlebih.
4)
Tingkatkan masukan cairan per oral sedikitnya 25%. Beri
air diantara
menyusui atau memberi susu botol.
R : Meningkatkan
input cairan sebagai kompensasi pengeluaran feces yang encer sehingga
mengurangi risiko bayi kekurangan cairan.
5)
Pantau turgor kulit
R : Turgor kult yang buruk, tidak elastis merupakan
indikator adanya kekurangan volume cairan dalam tubuh bayi.
6)
Berikan cairan per parenteral sesuai indikasi
R : Mungkin perlu untuk memperbaiki atau mencegah
dehidrasi berat.
3.
Dx. 3
a.
Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
tidak terjadi gangguan suhu tubuh.
b.
Kriteria Hasil
1)
Suhu tubuh
dalam rentang normal (36,50C-370C )
2) Nadi dan respirasi dalam batas normal ( N :
120-160 x/menit, RR : 35 x/menit )
3) Membran mukosa lembab
c. Intervensi
Mandiri
1) Pantau kulit neonatus dan suhu inti setiap 2 jam atau lebih sering
sampai stabil ( mis : suhu aksila). Atur suhu incubator dengan tepat.
R : Fluktuasi
pada suhu tubuh dapat terjadi sebagai respon terhadap pemajanan sinar, radiasi
dan konveksi.
2) Monitor
nadi, dan respirasi
R : Peningkatan
suhu tubuh dapat terjadi karena dehidrasi akibat paparan sinar dengan
intensitas tinggi sehingga akan mempengaruhi nadi dan respirasi, sehingga
peningkatan nadi dan respirasi merupakan aspek penting yang harus di waspadai.
3) Monitor intake dan output
R : Intake
yang cukup dan output yang seimbang dengan intake cairan dapat membantu
mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.
4) Pertahankan suhu tubuh 36,50C-370C, jika demam lakukan kompres/ axilia
R : Suhu dalam batas normal mencegah
terjadinya cold/ heat stress.
5) Cek tanda-tanda vital setiap 2-4 jam sesuai
yang dibutuhkan
R : Untuk mengetahui keadaan umum bayi sehingga
memungkinkan pengambilan tindakan yang cepat ketika terjadi suatu keabnormalan
dalam tanda-tanda vital.
6) Kolaborasi pemberian antipiretik jika demam.
R : Antipiretik cepat membantu menurunkan demam bayi.
4.
Dx. 4
a.
Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan,
diharapkan tidak terjadi komplikasi dari transfusi tukar.
b. Kriteria Hasil
1) Menyelesaikan transfusi tukar tanpa komplikasi
2) Menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum.
c.
Intervensi
Mandiri
1) Perhatikan kondisi
tali pusat bayi sebelum transfuse bila vena umbilical digunakan. Bila tali pusat
kering, berikan pencucian salin selama 30-60 menit sebelum prosedur.
R : Pencucian mungkin perlu untuk melunakkan tali
pusat dan vena umbilicus sebelum transfuse untuk akses I. V dan memudahkan
pasase kateter umbilical.
2) Pertahankan puasa
selama 4 jam sebelum prosedur atau aspirasi isi lambung.
R : Menurunkan risiko
kemungkinan regurgitasi dan aspirasi selama prosedur
3) Jamin ketersediaan
alat resusitatif.
R : Untuk memberikan dukungan
segera bila perlu.
4) Pertahankan suhu
tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur. Tempatkan bayi di bawah penyebar
hangat dengan servomekanisme. Hangatkan darah sebelum penginfusan dengan
menempatkan di dalam incubator, hangatkan baskom berisi air atau penghangat
darah.
R : Membantu mencegah
hipotermia dan vasospasme, menurunkan risiko fibrilasi ventrikel, dan
menurunkan vikositas darah
5) Pastikan golongan
darah serta faktor Rh bayi dan ibu. Perhatkan golongan darah dan factor Rh
darah untuk ditukar.
R : Transfuse tukar paling
sering dihubungkan dengan masalah inkompatibilitas Rh.
6) Jamin kesegaran
darah. Darah yang diberi heparin lebih disukai.
R : Darah yang lama lebih
mungkin mengalami hemolisis, karenanya meningkatkan kadar bilirubin. Darah yang
diberikan heparin selalu baru, tetapi harus dibuang bila tidak digunakan dalam
24 jam.
7) Pantau nadi, warna dan frekuensi pernapasan/kemudahan
sebelum, selama dan setelah transfuse. Lakukan pengisapan jika diperlukan.
R : Membuat nilai data dasar,
mengidentifikasi potensial kondisi tidak stabil ( mis : apnea atau
disritmia/henti jantung ) dan mempertahankan jalan napas.
8) Catat tanda-tanda
atau kejadian selama transfuse, pencatatan jumlah darah yang diambil dan
diinjeksikan.
R : Membantu mencegah
kesalahan dalam penggantian cairan. Jumlah darah ditukar kira-kira 170 ml/kg
BB. Volume ganda tukar transfuse
menjamin bahwa antara 75 % dan 90 % sirkulasi SDM digantikan.
9) Pantau tanda-tanda
keseimbangan elektrolit ( mis; gugup, aktivitas kejang, dan apnea;
hiperefleksia,; bradikardia; atau diare ).
R : Hipokalsemia dan hiperkalemia dapat terjadi
selama dan setelah transfuse tukar
10) Kaji bayi terhadap
perdarahan bedlebihan dari lokasi IV setelah transfuse.
R : Penginfusan darah yang diberi heparin mengubah
koagulasi selama 4-6 jam setelah transfuse tukar dan dapat mengakibatkan
perdarahan.
Kolaborasi
11) Pantau pemeriksaan
laboratorium sesuai indikasi :
§ Kadar Hb/Ht
sebelum dan setelah transfuse.
R : Bila
Ht kurang dari 40 % sebelum transfuse, pertukaran sebagian SDM kemasan dapat
mendahului pertukaran penuh. Penurunan kadar setelah transfusi menadakan
kebutuhan terhadap transfuse kedua.
§ Kadar bilirubin
serum segera setelah prosedur, kemudian setiap 4 jam.
R : Kadar bilirubin dapat menurun sampai setengah
segera setelah prosedur, tetapi dapat meningkat dengan cepat setelahnya,
memerlukan pengulangan transfuse.
§ Protein serum
total
R : Mengalikan kadar dengan 3,7 menetukan derajat
peningkatan bilirubin yang memerlukan transfuse tukar
§ Kalsium dan kalium
serum
R : Darah mengandung sitrat sebagai anti koagulan
yang mengikat kalsium, sehingga menurunkan kadar kalsium serum. Selain itu,
bila darah lebih dari 2 hari, destruksi SDM melepaskan kalium, menciptakan
risiko hiperkalemia dan henti jantung.
§ Glukosa
R : Kadar glukosa rendah mungkin dihubungkan dengan
glikolisis anaerobik kontinu dalam SDM donor. Tindakan segera perlu untuk
mencegah efek buruk/kerusakan SSP.
§ Kadar pH serum
R : pH serum dari darah donor secara khas 6,8 atau
kurang. Asidosis dapat tejadi jika darah segar tidak digunakan dan hepar bayi
tidak dapat memetabolisme sitrat yang digunakan antikoagulan, atau bila darah
donor melanjutkan glikolisis anaerobik dengan produksi asam metabolit.
§ Berikan albumin
sebelum transfuse bila diindikasikan
R : Meskipun masih kontroversial, pemberian albumin
dapat meningkatkan ketersediaan albumin untuk berikatan dengan bilirubin,
karenanya menurunkan kadar bilirubin serum sikulasi yang bebas.
12) Berikan
obat-obatan sesuai indikasi :
§ Kalsium glukonat 5
%
R : Dari 2 sampai 4 ml kalsium glukonat dapat
diberikan setelah setiap 100 ml penginfusan darah untuk memperbaiki hipokalsemia
dan meminimalkan kemungkinan iritabilitas jantung.
§ Natrium bikarbonat
R : Memperbaiki asidosis
§ Protamin sulfat
R : Mengimbangi efek-efek antikoagulan dari darah
yang diberi heparin.
0 komentar:
Post a Comment